Uber tidak lagi sekadar jadi aplikasi untuk memesan ojek atau mobil. Pada 20 Juni lalu, raksasa ride-hailing ini resmi mengumumkan ekspansi besar ke bidang yang diam-diam makin panas: pelabelan data AI. Lewat unit baru bernama Uber AI Solutions, mereka ingin menjadikan data sebagai produk andalan berikutnya dan mungkin, kartu truf mereka dalam ekonomi AI global.
Langkah ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Pasar pelabelan data sedang mengalami gempa kecil. Scale AI, pemain dominan, baru saja menerima suntikan $14,8 miliar dari Meta, yang memicu kekhawatiran soal konflik kepentingan. Bahkan, beberapa klien utama termasuk OpenAI dan Google mulai mengalihkan pandangan mereka.
Jadi, ketika Uber datang membawa platform internal, tenaga kerja klik global, dan janji “netralitas vendor”, itu bukan kebetulan. Mereka sedang membidik ruang kosong yang ditinggalkan oleh para pemain besar yang terjebak dalam kemitraan raksasa.
Lebih dari Sekadar Ride-Sharing: Uber Punya ‘Senjata’ AI Sendiri
Megha Yethadka, General Manager Uber AI Solutions, tidak berbicara seperti seseorang yang hanya “coba-coba AI“. Ia menyebut bahwa Uber punya satu dekade pengalaman menangani data dalam skala besar. Dari sistem penjadwalan pengemudi hingga algoritma harga dinamis, semua membutuhkan pelabelan dan optimasi yang presisi. Sekarang, sistem internal itu dijadikan produk.
Platform ini menyediakan data siap pakai, sistem alur kerja otomatis, bahkan alat untuk melatih agen AI dari nol. Tapi yang paling menarik? Akses ke puluhan ribu pekerja klik global bukan sembarang pekerja, melainkan yang punya latar belakang STEM, hukum, hingga keuangan. Gaji mereka? Berkisar antara $20 hingga $200 per jam, tergantung kompleksitas tugas.
$UBER is scaling up its AI data services with the global launch of Uber AI Solutions. It’s opening its internal tools and global talent network—used to train self-driving cars and Gen AI agents—to AI labs and enterprises in 30+ countries. pic.twitter.com/syA5ybutvG
— Wall St Engine (@wallstengine) June 20, 2025
Fakta ini sendirian sudah cukup mengubah narasi lama soal gig economy. Pekerjaan klik tidak lagi sekadar moderasi konten atau tag gambar. Sekarang, itu adalah pekerjaan AI kelas atas. Dan Uber tampaknya tahu betul bagaimana menjalankannya.
Meta Bikin Goyang, Uber Masuk Panggung
Kemitraan eksklusif Meta dan Scale membuat banyak pihak waspada. Skala investasi $14,8 miliar menandakan niat dominasi, bukan kolaborasi. Bahkan CEO Scale, Alex Wang, kini langsung memimpin Lab Superintelijen Meta, yang menjadi saingan langsung OpenAI dan DeepMind.
Efek domino segera terjadi. OpenAI dilaporkan memutus hubungan. Google juga mulai menjauh. Ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi kepercayaan. Siapa pun yang mengirimkan data ke Scale sekarang juga mengirimkannya, secara tidak langsung, ke Meta.
Inilah celah yang coba dimanfaatkan Uber.
Netral, Mandiri, dan Punya Jaringan Raksasa
Berbeda dengan startup seperti Turing atau Invisible Technologies yang masih bertumpu pada modal ventura, Uber punya kekuatan unik: skala operasional. Mereka aktif di lebih dari 30 negara, memiliki armada manusia klik yang terus bertumbuh, serta antarmuka pengguna untuk menyederhanakan alur kerja pelabelan.
Menurut Yethadka, Uber kini juga menyediakan layanan pelabelan untuk data multimodal teks, gambar, audio, bahkan video. Platformnya juga menyertakan kontrol kualitas otomatis dan penjadwalan tugas berbasis AI. Dan yang paling menarik: perusahaan bisa menggunakan bahasa manusia biasa untuk menjelaskan kebutuhan data mereka, dan sistem akan mengatur semuanya. (11/06)
How @Uber used LangGraph to build AI developer agents that generate thousands of daily code fixes and saved 21,000+ hours — serving an organization of 5,000 developers working with hundreds of millions of lines of code.
— LangChain (@LangChainAI) June 10, 2025
Watch their full session here: https://t.co/3j6kntbHza pic.twitter.com/QrB7eyNUo6
Bagi perusahaan yang alergi terhadap “Big Tech Drama”, Uber adalah alternatif menarik. Mereka bukan Meta. Mereka bukan Scale. Mereka hanya ingin jadi vendor yang efisien dan independen.
Tapi… Bisakah Uber Menang di Lahan yang Penuh Tantangan Ini?
Labeling data bukan hanya soal jumlah orang, tapi soal kompetensi. CEO Mercor, Brendan Foody, menekankan bahwa pasar sekarang mengarah ke pelabelan yang jauh lebih kompleks yang tidak bisa diserahkan sembarang pekerja.
“Banyak dari tugas ini butuh pemahaman kontekstual, bahkan hukum atau teknikal,” ujarnya.
Artinya, keberhasilan Uber akan sangat bergantung pada kemampuannya menjaga kualitas sambil mempertahankan kecepatan. Skalanya sudah ada. Tapi menjaga jaringan pekerja tetap termotivasi, terlatih, dan konsisten? Itu tantangan besar.
Belum lagi soal privasi data, perlindungan hak pekerja, dan isu kepemilikan hasil anotasi. Jika Uber benar-benar ingin menjadi vendor jangka panjang, mereka harus memainkan permainan yang lebih panjang dari sekadar mencuri momentum.
Data Bukan Lagi Sekadar Bahan Bakar, Tapi Produk Itu Sendiri
Dengan proyeksi belanja AI global lebih dari $300 miliar pada tahun 2025, jelas bahwa pelabelan data adalah ladang emas baru. Perusahaan seperti Aurora dan Niantic sudah menggunakan layanan Uber. Dan jika tren ini berlanjut, Uber bisa saja menjadi “AWS-nya” pelabelan data.
Editor: Cyro Ilan