Ketika dunia kripto terus bergerak dengan kecepatan cahaya—menghadirkan narasi baru hampir setiap pekan—film dokumenter “Vitalik: An Ethereum Story” justru terasa seperti kilas balik yang tidak sepenuhnya mampu mengejar kenyataan. Dirilis pada April 2025 di Apple TV, Prime Video, dan Vimeo On Demand, dokumenter ini menyajikan potret mendalam Vitalik Buterin, tokoh utama di balik Ethereum, namun gagal memberikan jawaban penting: Mengapa blockchain ini relevan hari ini?
Sutradara Zach Ingrasci dan Chris Temple mendapatkan “akses yang belum pernah terjadi sebelumnya” ke Buterin. Tapi alih-alih menggali lapisan terdalam dari sang pendiri dan ekosistem yang dia bangun, film ini lebih seperti sebuah penghormatan naratif. Sebuah pujian yang halus, tapi terlalu hati-hati.
Mitologi Sang Pendiri
Narasi dibuka dengan refleksi dari jurnalis dan profesor Nathan Schneider yang menyebut Buterin sebagai “terlalu sempurna” untuk mitologi pendiri teknologi. Muda, jenius, sedikit kikuk, dan punya idealisme tinggi. Ia bukan tipikal CEO Wall Street, melainkan seseorang yang tampak lebih cocok di forum internet atau konferensi open-source. Dari “Ensiklopedia Kelinci” yang ia tulis di masa kecilnya, hingga ketidaksukaannya terhadap hiperfinansialisasi kripto, film ini menjahit kembali cerita klasik Vitalik sebagai “visioner enggan” yang didorong masuk ke pusaran kekuasaan.
Namun inilah masalahnya: narasi ini sudah sering di dengar. Bagi mereka yang mengikuti kripto lebih dari sekadar headline, kisah tentang Vitalik sang jenius Rusia-Kanada bukanlah hal baru.
Baca Juga: Vitalik Buterin, Masa Depan Ethereum Ditentukan oleh Nilai dan Niat di Balik Aplikasi yang Dibangun
Kehilangan Momen dan Dimensi
Film ini mencoba merangkum delapan tahun sejarah Ethereum ke dalam 90 menit—dari awal komunitas hippie digital, ketegangan internal antara para co-founder, hingga tonggak besar seperti The Merge. Tapi dengan cakupan selebar itu, banyak tema hanya disentuh di permukaan: jejak lingkungan blockchain, degenerasi NFT, eksploitasi peretas Korea Utara, hingga kegagalan bursa raksasa seperti FTX dan Celsius.
Contoh nyata dari pendekatan setengah hati ini terlihat pada segmen tentang Ukraine DAO, upaya penggalangan dana NFT untuk membantu Ukraina pasca invasi Rusia 2022. Ukraine DAO berhasil mengumpulkan $7 juta. Tapi mengapa ini penting? Mengapa harus melalui blockchain? Dokumenter tidak memberikan jawaban mendalam—hanya kutipan, lalu lanjut ke topik berikutnya.
Dan di sinilah dokumenter ini mulai kehilangan bobotnya: ia terlalu ringan untuk komunitas kripto, tapi terlalu teknis untuk penonton umum.
Ketika Realita Kripto Bergerak Terlalu Cepat
Lebih ironis lagi, film ini terasa seperti sudah kedaluwarsa saat dirilis. Dokumenter berakhir di pertengahan 2023 dengan sorotan ke Montenegro Tech Summit, padahal sejak itu industri telah mengalami transformasi besar. ETF Bitcoin spot telah disetujui. Trump kembali di atas angin. Dan Ethereum? Tertinggal dalam performa pasar.
Harga Ether telah anjlok dari puncak $4.000 pada Desember ke bawah $2.000 dalam beberapa bulan terakhir. Kritik pun bermunculan. Ameen Soleimani, pengembang senior, menyebut komunitas Ethereum sebagai “agama utopis yang hidup di menara gading.” Ada juga keluhan tentang kepemimpinan Yayasan Ethereum yang dianggap terlalu pasif di tengah perubahan besar dalam industri kripto.
Vitalik sendiri mulai menanggapi kritik dengan lebih defensif, menolak seruan untuk memecat Aya Miyaguchi, Direktur Eksekutif Ethereum Foundation. “Bukan seperti ini cara kerja permainan ini,” balasnya di X (sebelumnya Twitter). Sikapnya mencerminkan tekanan sebagai sosok simbolis yang tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari tanggung jawab publik.
Momen yang Hilang
Dengan akses eksklusif yang dimiliki, para sutradara seharusnya bisa menangkap krisis eksistensial ini: Bagaimana seorang idealis tetap relevan di tengah dunia kripto yang semakin keras, pragmatis, bahkan politis? Bagaimana Ethereum berevolusi saat proyek Layer-2 berkembang dan persaingan antar-blockchain semakin brutal?
Alih-alih menjawab itu, film ini memilih jalan yang lebih aman: menampilkan kilas balik sejarah dengan latar musik melankolis dan wawancara yang sopan. Dan ketika Buterin berkata menjelang akhir film, “Mari kita biarkan kaum anarkis kripto dan para ahli teknologi berusaha keras membuat hal ini berhasil…,” sadar: narasi ini terasa lebih seperti 2021, bukan 2025.
Kesimpulan: Dokumenter untuk Normies, Tapi Terlalu Normie
“Vitalik: An Ethereum Story” adalah tontonan yang sopan dan rapi. Bagi penonton baru yang penasaran siapa Vitalik dan apa itu Ethereum, film ini cukup menarik. Tapi bagi mereka yang hidup dan bernapas di dalam dunia kripto, dokumenter ini terasa seperti pameran nostalgia—bukan investigasi tajam atau potret yang menggugah.
Ethereum adalah cerita besar. Tapi butuh lebih dari potret hormat untuk menangkapnya.
Editor: Cyro Ilan