Dalam dunia yang makin tak bisa diprediksi, satu hal tampaknya pasti, perusahaan yang dulunya dikenal sebagai MicroStrategy β kini cukup menyebut diri mereka “Strategy” β tetap ngotot menumpuk Bitcoin.
Minggu lalu, Strategy mengumumkan pembelian gede-gedean sebesar $555 juta untuk 6.556 Bitcoin baru. Itu hampir dua kali lipat dari pembelian $286 juta mereka hanya seminggu sebelumnya. Kalau kita lihat tren ini, jelas mereka tidak sedang iseng koleksi koin digital β ini sudah jadi misi.
Dengan akuisisi terbarunya, Strategy kini memegang 538.200 BTC, yang mereka akumulasi dengan harga rata-rata $67.766. Kalau dikalkulasi, itu artinya mereka sudah membelanjakan $36 miliar hanya untuk satu aset digital. Tapi begini: dengan harga BTC sempat menyentuh $88.000 Senin kemarin, nilai portofolio mereka sekarang membengkak jadi sekitar $47 miliar. Naik belasan miliar, hanya dari bertahan. (21/04)
Di tengah pasar saham yang bergejolak β S&P 500 turun hampir 2,8% β Bitcoin justru melenggang naik 4%. Sentimen pasar bisa dibilang sedang kacau. Ketegangan dagang AS-Tiongkok kembali panas sejak Presiden Trump menaikkan tarif pada 2 April. Tapi Bitcoin? Seperti anak band yang cuek aja jalan manggung, malah tambah ngetop.
Apa itu berarti pembelian besar Strategy memengaruhi harga Bitcoin?
Eh, belum tentu. Menurut Matthew Sigel, kepala riset aset digital Van Eck, korelasinya minim banget. Ia mencatat bahwa tidak ada hubungan jelas antara volume pembelian Strategy dan pergerakan harga mingguan BTC.
βAda sedikit atau tidak ada korelasi antara volume pembelian Bitcoin mingguan Strategy dan harga Bitcoin di akhir minggu atau perubahan harga Bitcoin selama seminggu,β tulis Sigel.
Meski begitu, pasar tetap heboh. Strategy β yang saat ini jadi pemegang BTC terbesar di antara perusahaan publik β hanya dikalahkan oleh ETF seperti iShares Bitcoin Trust milik BlackRock, yang punya 570.983 BTC (senilai $48 miliar). Beda tipis dan dampaknya juga mulai menyebar.
Metaplanet, perusahaan Jepang yang mungkin baru mulai dilirik media keuangan global, mengikuti jejak Strategy. Baru saja mereka umumkan pembelian 649 BTC senilai $56 juta. Dan jangan salah, Metaplanet bukan cuma pemain iseng. Mereka udah mengoperasikan divisi perhotelan dan memegang lisensi Bitcoin Magazine di Jepang. CEO-nya, Simon Gerovich, bahkan punya target ambisius: 10.000 kantor di seluruh dunia sebelum 2026.
Visi yang nyaris terasa seperti startup zaman dotcom, tapi dengan sentimen Satoshi Nakamoto.
Masuk ke mode “Bitcoin treasury strategy” ini bukan tanpa risiko. Perusahaan yang telat masuk ke BTC lebih rentan digoyang volatilitas β bahkan bisa masuk zona merah begitu harga turun tajam. Banyak yang sudah merasakan konsekuensinya. Tapi ya, ini dunia crypto. High risk, high belief.
Baca Juga: Melacak Jejak Bitcoin, Antara Tanda Peringatan dan Potensi Pulih dalam Gelembung Pasar Kripto?
Tapi lihat GameStop β iya, perusahaan yang sempat jadi legenda Reddit karena short squeeze β baru-baru ini juga menyatakan niat masuk strategi cadangan Bitcoin. Saham mereka langsung melonjak. Lagi-lagi, publik seakan mengaitkan Bitcoin = pertumbuhan agresif + visibilitas tinggi.
Kita bisa lihat ini sebagai tanda: Bitcoin bukan cuma jadi aset investasi, tapi kini merambah sebagai strategi brand positioning untuk perusahaan-perusahaan publik yang ingin tampil progresif.
Satu hal yang masih belum terjawab:
- Apa strategi akumulasi ini akan tetap menguntungkan jika harga Bitcoin menyentuh titik koreksi besar?
- Atau justru perusahaan seperti Strategy sedang mempersiapkan diri sebagai semacam bank sentral digital bayangan, yang menyimpan aset keras dunia baru?
Mungkin terlalu dini untuk menilai. Tapi yang jelas, seperti yang pernah ditulis Coinbiograph.com di awal tahun β
βInstitusi yang mengumpulkan Bitcoin bukan sedang berjudi. Mereka sedang membangun kastil, dan kastil digital ini terbuat dari blok-blok data yang tak bisa dipalsukan.β
Untuk sekarang, yang bisa kita pelajari: ada waktu untuk membeli, dan ada waktu untuk berani mengambil posisi lebih besar ketika yang lain takut. Strategy tampaknya sudah memilih yang kedua.
Editor: Cyro Ilan