Saat Stablecoin Menjadi Inovasi yang Mengganggu

Stablecoin

Untuk waktu yang lama, stablecoin tampak seperti mainan para penggemar kripto—aset digital setengah matang yang nilainya kadang goyah, kadang susah dicairkan, dan jujur saja, kadang bikin deg-degan. Tapi di sisi lain dunia, bagi masyarakat yang dilupakan oleh sistem perbankan tradisional, stablecoin justru jadi juru selamat.

Kalau kata teori yang sudah melegenda—The Innovator’s Dilemma karya Clayton Christensen—gangguan besar sering kali dimulai dari tempat yang tampaknya remeh. Dari pasar yang diabaikan, dari segmen yang terlalu “murahan” untuk digarap oleh perusahaan mapan. Toyota, misalnya, masuk ke pasar AS lewat Corona yang dibanderol $2.000. Saat itu mobil itu dianggap terlalu kecil, terlalu pelan, dan terlalu sederhana. Tapi dari sanalah mereka menanjak. Hari ini, Lexus bikin pelaku lama gigit jari.

Nah, stablecoin? Mungkin ini adalah Toyota baru dunia finansial.

Bukan Dolar yang Sempurna, Tapi Dolar yang Dibutuhkan

Di AS, stablecoin dianggap dolar versi downgrade—tidak diasuransikan FDIC, belum tentu bisa ditukar persis $1, dan masih sering diragukan keamanannya. Tapi coba tanya ke warga Argentina, Lebanon, atau Nigeria.

Di sana, banyak orang bahkan tidak bisa mengakses rekening bank dolar. Tapi mereka bisa mengakses USDT atau USDC lewat aplikasi atau bursa kripto lokal. Tidak ada antrian bank. Tidak ada limit tarik tunai. Tidak ada petugas yang menyita uang karena kebijakan moneter. Hanya butuh koneksi internet dan dompet digital.

Satu laporan dari Americas Market Intelligence bahkan menyebutkan bahwa satu dari lima orang Argentina menggunakan stablecoin setiap hari. Itu bukan adopsi awal. Itu penggunaan nyata—dan itu terjadi di luar pengawasan bank besar dunia.

Tapi anehnya, walau adopsi terjadi di bawah radar, para raksasa keuangan tidak lagi menutup mata.

Diuji oleh Teori Christensen — Apakah Stablecoin Termasuk Inovasi Disruptif?

Di sinilah Christensen bisa membantu kita membaca situasi. Teorinya menyebut enam kriteria untuk menilai apakah sebuah inovasi bisa disebut sebagai disruptif.

Stablecoin? Centang hampir semua kotak.

  1. Nonkonsumen dan pasar terlayani berlebihan?
    Iya. DeFi, freelancer lintas negara, pengungsi ekonomi—semua ini kelompok yang selama ini diabaikan oleh bank. Mereka tak cocok dengan model KYC bank besar, tapi mereka butuh dolar yang stabil.
  2. Performa awal lebih buruk?
    Iya juga. Kita pernah lihat UST/LUNA ambruk. Nilai stablecoin kadang nyasar dari patokannya. Bahkan proses pencairan bisa lebih rumit dibanding rekening bank.
  3. Lebih murah dan lebih mudah digunakan?
    Jelas. Kirim uang via stablecoin bisa dilakukan 24/7, tanpa biaya transfer lintas negara yang gila-gilaan. Tidak perlu konfirmasi bank. Tidak perlu jam kerja.
  4. Didukung oleh teknologi penopang?
    Blockchain—cukup dikatakan.
  5. Model bisnis baru yang bisa bertahan?
    Di sinilah kompleksitas muncul. Tether bisa jadi salah satu perusahaan paling menguntungkan di dunia per karyawan, tapi regulasi masih mengancam. Circle mencoba jadi jinak di mata regulator, tapi margin keuntungannya bisa menciut jika aturan baru membatasi bunga atau biaya.
  6. Apakah pemain lama awalnya mengabaikan?
    Mungkin awalnya iya. Tapi sekarang? Visa, Mastercard, Stripe, bahkan BlackRock mulai ikut bermain. Seperti ada alarm yang menyala serempak di lantai atas Wall Street.

Tapi Apakah Ini Disrupsi… atau Kolaborasi Terselubung?

Christensen dulu menulis bahwa gangguan besar sering terjadi justru karena perusahaan mapan mengabaikan ancaman kecil. Toyota tumbuh karena Ford dan GM tidak peduli. Tapi stablecoin? Mereka langsung dilirik dan sekarang bahkan dikerubungi.

Kalau begitu, bisa jadi ini bukan gangguan yang merayap dari bawah. Ini lebih mirip koalisi dari atas—di mana perusahaan-perusahaan besar langsung meniru atau mencaplok ide dari inovator awal.



Bayangkan: Circle sedang membangun infrastruktur pembayaran global lewat stablecoin. Tapi Visa juga bikin hal serupa. Stripe ikut. Bahkan CEO Bank of America terang-terangan bilang, “kami mungkin akan menerbitkan stablecoin juga begitu ada izin.”

Kalau teori Christensen dibalik, maka pertanyaannya adalah: apakah inovator awal stablecoin akan punya cukup waktu untuk naik ke atas, atau malah akan “ditikung” oleh pemain besar?

Jalan Menuju Triliunan

Menurut Citi, pasar stablecoin bisa mencapai $3,7 triliun pada 2030. Angka fantastis—dan sebagian besar berasal dari adopsi institusional, bukan dari para pengadopsi awal yang idealis.

Ini menimbulkan dilema nyata bagi pengamat kripto: apakah kita sedang menyaksikan inovasi keuangan yang menyelamatkan, atau akuisisi teknologi oleh elite finansial global?

Jawabannya mungkin keduanya.

Stablecoin sudah membuktikan bahwa gangguan bisa dimulai dari pasar yang “tidak menarik” dan bisa menciptakan sistem baru yang lebih ramping. Tapi gangguan ini tidak harus berakhir dengan para disruptor menang.

Yang pasti, satu pelajaran bisa diambil:

Jangan pernah meremehkan produk yang terlihat murah dan tidak penting. Bisa jadi itu adalah permulaan dari perubahan besar.

Dan ya—kalau kamu sedang membangun sesuatu yang tampak seperti mainan sekarang, ingatlah, Lexus juga dimulai dari Corona seharga $2.000.


Editor: Niken Nirmala

Disclaimer:

"Informasi di Coinbiograph hanya sebagai referensi, bukan saran investasi. Artikel ini tidak mendukung pembelian atau penjualan kripto tertentu.

Perdagangan keuangan, termasuk cryptocurrency, selalu berisiko. Risetlah sebelum berinvestasi. Keputusan ada pada Anda.

Gunakan platform resmi yang legal, terutama di Indonesia. Pilih platform kripto yang terdaftar oleh BAPPEBTI dan OJK dan daftar aset kripto resmi di Indonesia dan legal"

Share:

Related Topics

Niken Nirmala

Saya adalah Niken Nirmala asal Indonesia, hobi menulis

Also Read